Pendidikan
Agama Islam
KB
dalam Pandangan Agama Katolik
Oleh :
BELLA INDAH MENTARI (
17 / Reguler )
DURROTUL LAILA ( 18 / Reguler )
USWATUN HASANAH ( 19 / Reguler )
Poltekkes Kemenkes
Surabaya
Prodi
DIII Kebidanan Kampus Bangkalan
Tahun
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahnya, penilis dapat menyelesaikan makalah ini tentang “ KB dalam
Pandangan Agama Katolik”. Dalam penyelesaian
Makalah ini kami mengalami banyak kesulitan, karena keterbatasan ilmu
pengetahuan yang dimiliki penulis. Namun, berkat bantuan dari semua pihak, sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah ini. Untuk itu Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Sulaiman, S.Ag selaku dosen mata kuliah Agama dengan bimbingannya serta masukan-masukan
dari beliau sehingga kami berhasil menyusun makalah sederhana ini.
Tidak
lupa kami sampaikan terima kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing kami dalam
mngerjakan makalah ini..
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, karena kami masih dalam
tahap pembelajaran. Untuk
itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca.
Bangkalan, 21 November 2012
Penulis
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ EUTHANASIA” dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyelesaian Makalah ini penulis mengalami banyak kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki penulis. Namun, berkat bantuan dari semua pihak, akhirnya karya tulis mahasiswa ini dapat terselesaikan walau masih banyak kekurangan. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sulaiman, S.Ag selaku dosen mata kuliah Agama dengan bimbingannya serta masukan-masukan dari beliau sehingga kami berhasil menyusun makalah sederhana ini. Dan juga kepada mahasiswa poltekkes kemenkes Surabaya yang mana telah memberikan dukungan moral dan inspirasinya. Dengan merendahkan hati, kami mengakui bahwa pengetahuan dan kemampuan kami sangatlah terbatas. Oleh karena itu, apabila dalam penyusunan makalah ini masih mengalami banyak kekurangan baik dalam penyusunan kata-kata maupun penulisannya. Untuk itu kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah ini
Dalam penyelesaian Makalah ini penulis mengalami banyak kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki penulis. Namun, berkat bantuan dari semua pihak, akhirnya karya tulis mahasiswa ini dapat terselesaikan walau masih banyak kekurangan. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sulaiman, S.Ag selaku dosen mata kuliah Agama dengan bimbingannya serta masukan-masukan dari beliau sehingga kami berhasil menyusun makalah sederhana ini. Dan juga kepada mahasiswa poltekkes kemenkes Surabaya yang mana telah memberikan dukungan moral dan inspirasinya. Dengan merendahkan hati, kami mengakui bahwa pengetahuan dan kemampuan kami sangatlah terbatas. Oleh karena itu, apabila dalam penyusunan makalah ini masih mengalami banyak kekurangan baik dalam penyusunan kata-kata maupun penulisannya. Untuk itu kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah ini
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang
Keluarga Berencana (KB) adalah istilah yang mungkin
sudah lama dikenal. KB artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak dan
menentukan sendiri kapan seseorang ingin hamil. Bila ia memutuskan untuk
tidak segera hamil sesudah menikah, ia bisa ber-KB. Layanan KB di seluruh
Indonesia sudah cukup mudah diperoleh.
KB termasuk masalah yang kontroversional sehingga
tidak ditemukan bahasannya oleh imam-imam madzhab. Secara umum, hingga kini di
kalangan umat islam masih ada dua kubu antara yang membolehkan KB dan
yang menolak KB.
Agama katolik memperbolehkan KB,
diantaranya dari segi kesehatan ibu dan ekonomi keluarga. Selain itu, program
KB juga didukung oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui, sejak 1970, program
Keluarga Berencana (KB) Nasional telah meletakkan dasar-dasar mengenai
pentingnya perencanaan dalam keluarga. Intinya, tentu saja untuk mengantisipasi
segala kemungkinan yang berkaitan dengan masalah dan beban keluarga jika kelak
memiliki anak.
1.2.Rumusan
masalah
a. Bagaimana
pandangan KB di dalam agama katolik ?
b. Apa
manfaat KB ?
c. Bagaiman Penilaian moral Agama katolik dalam
penggunaan kontrasepsi KB ?
1.3.
Tujuan
Untuk
mengetahui segala hal tentang KB serta hukum KB dari pandangan agama katolik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan
KB dalam pandangan Agama Katolik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997), KB adalah gerakan untuk membentuk keluarga
yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Dengan kata lain KB adalah
perencanaan jumlah keluarga.
Agama Katolik memandang program KB dapat diterima. Namun, cara
melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri,
dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga. Agama Katolik menyatakan bahwa KB
pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab. Soal metode, termasuk
cara pelaksanaan tanggung jawab itu, umat Katolik harus senantiasa bersikap dan
berperilaku penuh tanggung jawab. Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu
memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama
dan social budaya yang berlaku dalam masyarakat.
”Pandangan Agama Katolik tentang KB itu disampaikan
Romo Jeremias Balapito Duan MSF, sekretaris eksekutif Komisi Keluarga
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam buku berjudul “Membagun Keluarga
Sejahtera dan Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik”. Buku ini
diterbitkan Komisi Keluarga KWI bersama BKKBN dan UNFPA (Dana Kependudukan
Dunia).
Sejauh ini Agama Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur). agama Katolik juga memandang kesejahteraan keluarga diletakkan dan diwujudkan dalam pemahaman holistik sesuai dengan kehendak Allah. Untuk mengatur kelahiran anak, suami-istri harus tetap menghormati dan menaati moral Katolik dan umat Katolik dibolehkan berKB dengan metode alami yang memanfaatkan masa tidak subur.
Sejauh ini Agama Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur). agama Katolik juga memandang kesejahteraan keluarga diletakkan dan diwujudkan dalam pemahaman holistik sesuai dengan kehendak Allah. Untuk mengatur kelahiran anak, suami-istri harus tetap menghormati dan menaati moral Katolik dan umat Katolik dibolehkan berKB dengan metode alami yang memanfaatkan masa tidak subur.
“Para uskup Indonesia mendukung
ajaran Paus dengan memberi anjuran hendaknya metode alamiah (KB Alamiah-pantang
berkala) beserta segala perbaikannya lebih diperkenalkan dan dianjurkan,” ujar
Romo Jeremias mengutip pedoman Pastoral keluarga tahun 1975 No.26. Paus Paulus
VI pernah menyatakan, ajaran gereja “berdasarkan kaitan tak terceraikan yang
dikehendaki oleh Allah dan karena itu tidak dapat dibatalkan oleh manusia atas
prakarsanya sendiri antara kedua makna tindakan perkawinan, yakni arti
‘pemersatu’ dan arti ‘prokerasi’. ”Namun, manakala umat Katolik tidak dapat
melaksanakan cara tersebut (KB alamiah), padahal mereka juga ingin mengatur
kelahiran, apa yang harus mereka lakukan? Menurut Romo Jeremias, Agama Katolik
menyadari sepenuhnya berbagai kesulitan yang dihadapi keluarga Katolik dalam
usaha mengatur kelahiran. Dalam keadaan demikian, mereka bisa
bertindak secara tanggung jawab dan tidak perlu merasa berdosa apabila
menggunakan cara lain. Asal, cara tersebut tidak merendahkan martabat suami
atau istri, tidak berlawanan dengan hidup manusia (pengguguran dan pemandulan),
dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis,” tambah Romo Jeremias.
Dalam Ensiklik dijelaskan, untuk mengatur keluarga, kelahiran, jumlah dan waktu kelahiran anak, gereja menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada suami-istri.
Dalam Ensiklik dijelaskan, untuk mengatur keluarga, kelahiran, jumlah dan waktu kelahiran anak, gereja menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada suami-istri.
Letak kesulitan ber-KB dalam Agama Katolik
membedakan dengan jelas antara prinsip tanggung jawab dalam hal prokreasi dan
metode KB sebagai cara pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Pimpinan Gereja
Katolik membenarkan prinsip tanggung jawab tersebut. Namun, dalam
pelaksanaannya membedakan antara metode KB Alamiah yang dibenarkan dan metode
kontraseptif yang tidak dibenarkan. ”Dengan jujur harus disimpulkan, disinilah
letak kesulitan bagi kalangan Katolik atau orang Katolik yang berkehendak baik
dan bersedia mengindahkan ajaran gereja untuk memahami posisi gereja,” ujar
Romo Jeremias. Namun begitu, dalam Ensiklik (No.10) dinyatakan, bahwa orang tua
dapat mengambil keputusan yang telah dipertimbangkan secara tulus ikhlas mau
memelihara keluarga yang besar; atau juga karena alasan-alasan yang berat,
tetapi dengan tetap penuh hormat menaati hukum moral, mau menghindarkan
kelahiran baru untuk sementara waktu atau waktu yang tak ditentukan lamanya.
Dari sabda Ensiklik maupun Konsili jelas umat Katolik juga mempunyai tugas mengatur kelahiran untuk membangun kesejahteraan keluarga dan demi kepentingan negara. Namun, bukan orang lain atau negara yang boleh menentukan jumlah anak. Cara-cara mengatur kelahiran harus diputuskan oleh suami-istri sendiri.
Dari sabda Ensiklik maupun Konsili jelas umat Katolik juga mempunyai tugas mengatur kelahiran untuk membangun kesejahteraan keluarga dan demi kepentingan negara. Namun, bukan orang lain atau negara yang boleh menentukan jumlah anak. Cara-cara mengatur kelahiran harus diputuskan oleh suami-istri sendiri.
2. MANFAAT
KB
Setiap tahun ada 500.000 perempuan meninggal akibat
berbagai masalah yang melingkupi kehamilan, persalinan, dan pengguguran
kandungan (aborsi) yang tidak aman. KB bisa mencegah sebagian besar kematian
itu. Di masa kehamilan, umpamanya, KB dapat mencegah munculnya bahaya-bahaya
akibat:
a. kehamilan
terlalu dini
Perempuan yang sudah
hamil tatkala umurnya belum mencapai 17 tahun sangat terancam oleh kematian
sewaktu persalinan. Karena tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh, belum cukup matang
dan siap untuk dilewati oleh bayi. Lagipula bayinya pun dihadang risiko
kematian sebelum usianya mencapai 1 tahun.
b. kehamilan
terlalu “telat”
Perempuan yang usianya
sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan terancam banyak bahaya.
Khususnya bila ia punya problema-problema kesehatan lain, atau sudah terlalu
sering hamil dan melahirkan.
c. kehamilan-kehamilan
terlalu berdesakan jaraknya
Kehamilan dan
persalinan menuntut banyak energi dan kekuatan tubuh perempuan. Kalau ia belum
pulih dari satu persalinan tapi sudah hamil lagi, tubuhnya tak sempat
memulihkan kebugaran, dan berbagai masalah, bahkan juga bahaya kematian,
menghadang.
d. terlalu
sering hamil dan melahirkan
Perempuan yang sudah
punya lebih dari 4 anak dihadang bahaya kematian akibat pendarahan hebat dan
macam-macam kelainan lagi, bila ia terus saja hamil dan bersalin lagi.
3. Penilaian Moral Katolik Terhadap
Tindakan Kontrasepsi.
Sikap Gereja Katolik terhadap praktik kontrasepsi secara amat nyata terbaca dalam ensiklik Humanae Vitae (selanjutnya HV) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968. Secara garis besar HV menegasakan bahwa perkawinan adalah institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara perwujudananya haruslah sesuai dengan kehendaknya. Tuhan berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerja sama denganNya untuk mendatangkan kehidupan baru.
Untuk memahami pengaturan kelahiran, sesorang harus mempunyai gambaran yang total tentang manusia. Jadi, harus dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan bukan hanya dimensi manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Allah mengingingkan agar di dalam ikatan perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara total, agar mereka dapat saing menguduskan dan bekerja sama untuk mendatangkan kelahiran. Maka, untuk kedua orang yang sudah dibaptis, perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8). Dalam perkawinan terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu persatuan dan prokreasi (HV 12), artinya perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami istri, dan persatuan itu selayaknya harus terbuka terhadap kehidupan baru. Dalam hal ini kesuburan dan anak harus dilihat sebagai berkat dari Tuhan (bdk Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus dihilangkan. Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak maka hal itu bukan merupakan tindakan yang sejati. Tindakan yang mencegah sebagaian atau seluruh bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, termasuk di dalamnya sterilisasi (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak prokreasi dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik sebagai bukti kasih sejati (HV 16). Namun Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi disebut dosa dan pada kasus tertentu untuk menyembuh penyakit, Gereja memperbolehkan tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV 15). Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16).
Pengaturan KB alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “janganlah kamu saling menjauhi kecuali bersama dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1 kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (bdk. Ibr 13:4). Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin, dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik bagi suami istri. Di akhir ensiklik, Paus menegaskan bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa mengormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati dengan pengertian kasih (HV 31).
Sikap Gereja Katolik terhadap praktik kontrasepsi secara amat nyata terbaca dalam ensiklik Humanae Vitae (selanjutnya HV) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968. Secara garis besar HV menegasakan bahwa perkawinan adalah institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara perwujudananya haruslah sesuai dengan kehendaknya. Tuhan berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerja sama denganNya untuk mendatangkan kehidupan baru.
Untuk memahami pengaturan kelahiran, sesorang harus mempunyai gambaran yang total tentang manusia. Jadi, harus dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan bukan hanya dimensi manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Allah mengingingkan agar di dalam ikatan perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara total, agar mereka dapat saing menguduskan dan bekerja sama untuk mendatangkan kelahiran. Maka, untuk kedua orang yang sudah dibaptis, perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8). Dalam perkawinan terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu persatuan dan prokreasi (HV 12), artinya perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami istri, dan persatuan itu selayaknya harus terbuka terhadap kehidupan baru. Dalam hal ini kesuburan dan anak harus dilihat sebagai berkat dari Tuhan (bdk Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus dihilangkan. Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak maka hal itu bukan merupakan tindakan yang sejati. Tindakan yang mencegah sebagaian atau seluruh bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, termasuk di dalamnya sterilisasi (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak prokreasi dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik sebagai bukti kasih sejati (HV 16). Namun Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi disebut dosa dan pada kasus tertentu untuk menyembuh penyakit, Gereja memperbolehkan tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV 15). Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16).
Pengaturan KB alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “janganlah kamu saling menjauhi kecuali bersama dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1 kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (bdk. Ibr 13:4). Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin, dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik bagi suami istri. Di akhir ensiklik, Paus menegaskan bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa mengormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati dengan pengertian kasih (HV 31).
III.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas,dapat
disimpulkan bahwa pandangan Agama Katolik tentang program KB
dapat diterima. Sejauh ini Agama Katolik menganjurkan umat melaksanakan program
KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur).
Namun, cara
melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri,
dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga.
3.2. Saran
Apabila anda hendak melakukan KB sebaiknya
dipertimbangkan terlebih dahulusegala
aspek yang menyangkut tentang KB.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Your CommEnT........