BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian yang paling
banyak terjadi pada anak di negara sedang berkembang. Infeksi Saluran
Pernapasan Akut ini menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan kematian pada anak
berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya sebanyak dua pertiga kematian
tersebut adalah bayi (WHO, 2003).
Penyakit saluran
pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai
pada masa dewasa. dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic
obstructive pulmonary disease (WHO, 2003). Infeksi saluran Pernapasan Atas
(ISPA) dapat menyebapkan demam, batuk, pilek dan sakit tenggorokan (Bidulh,
2002).
Salah satu penyakit
yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi
akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak
diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju (WHO,
2003 ).
Di Indonesia terjadi lima kasus
diantara 1000 bayi atau Balita, ISPA mengakibatkan 150.000 bayi atau Balita
meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus perhari, atau
17 anak perjam atau seorang bayi tiap lima menit (Siswono, 2007).
Faktor-faktor yang
bisa menjadi penyebab penyakit ISPA yaitu antara lain: Umur, Jenis Kelamin,
Keadaan Gizi, Kekebalan, Lingkungan, Imunisasi Yang Tidak Lengkap dan Pemberian
Asi Ekslusif yang tidak sesuai (Depkes, 2002).
Kurangnya pengetahuan
ibu tentang Imunisasi pertusis menyebabkan banyaknya balita terkena ISPA, Imunisasi pertusis
yakni imunisasi yang diberikan agar balita tidak rentan terkena Infeksi Saluran
Pernapasan. Diperkirakan kasus pertusis
sejumlah 51 juta dengan kematian lebih dari 600.000 orang, namun hanya 1,1 juta
penderita dilaporkan dari 163 negara dalam tahun 1983. Hampir 80 % anak- anak
yang tidak di imunisasi menderita sakit pertusis sebelum umur 5 tahun. Kematian
karena pertusis, 50 % terjadi pada bayi (umur < 1 tahun).
Berdasarkan laporan puskesmas Suramadu tahun 2012
angka kejadian ISPA pada anak balita sebanyak 1000 balita, 70% rawat jalan, 25%
di rawat di puskesmas dan 5% dirujuk ke RS. Kunjungan balita dengan ISPA pada
bulan Januari-Mei 2013 sebanyak 500 balita setelah dilakukan identifikasi
ternyata hampir 80% balita belum lengkap imunisasi dasar. Kejadian ISPA di
sekitar cakupan kerja puskesmas Suramadu tahun 2012 maupun di pertengahan 2013 dimasukkan
ke dalam kejadian luar biasa, karena pada 12.500 kejadian ISPA di seluruh
Indonesia tahun 2012, 1000 balita diantaranya adalah berasal dari wilayah
Suramadu. Balita yang belum lengkap imunisasi dasar cukup banyak, kondisi ini
perlu dilakukan penelitian karena menjadi penyumbang terbesar kejadian ISPA di
daerah itu.
1.2 Identifikasi
Masalah
|
|
|
|
|
1.2.1 Faktor Eksternal
:
-
Lingkungan
Pencemaran
lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana transportasi
dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan terutama penyakit
ISPA. Demikian pula perubahan iklim global terutama suhu, kelembaban, curah
hujan, merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA. Untuk
tercapainya tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka salah satu upaya adalah
dengan memperhatikan atau menanggulangi faktor resiko lingkungan
-
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang mampu mencerminkan
kemampuan daya intelektual sumber daya manusia dalam berkarya sehingga perlu
diperhatikan dalam menelaah potensi dari sekelompok penduduk. Rendahnya tingkat
pendidikan perempuan akan berpengaruh kepada pemahaman mereka mengenai
kesehatan, termasuk kesehatan bayi dan keluarga. Menurut Azwar (2004) makin
tinggi tingkat pendidikan ibu, maka makin tinggi kesadaran akan pentingnya
kesehatan. Bahkan, seorang ibu yang menyelesaikan pendidikan dasar enam tahun
akan menurunkan angka kematian bayi secara signifikan di bandingkan dengan para
ibu yang tidak tamat sekolah dasar. Angka kematian bayi ini bahkan semakin
rendah bila para ibu menyelesaikan pendidikan menengah tingkat pertama
-
Kondisi ekonomi
Keadaan ekonomi
yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada
peningkatan penduduk miskin disertai dengan menurunya kemampuan menyediakan
lingkungan pemukiman yang sehat mendorong peningkatan jumlah balita yang rentan
terhadap serangan berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirya akan
mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan pneumonia pada balita.
-
Kebiasaan Hidup Sehat
Kebiasaan hidup sehat merupakan
modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Kebiasaan hidup sehat sangat
dipengaruhi oleh budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin
meningkatnya tingkat pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh
positif terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan balita agar tidak
terkena penyakit ISPA, yaitu melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa
sehat dan lingkungan sehat.
1.2.2 Faktor
Internal :
-
Kelengkapan Imunisasi Dasar
Dalam
suhandayani (2007) dijelaskan bahwa beberapa penelitian yang menjelaskan
hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA diantaranya penelitian
yang dilakukan Tupasi (1985) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi
berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Sievert (1993) menyebut bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan
peranan yang cukup berarti terhadap pencegahan kejadian ISPA
-
Ketepatan Pemberian Asi
Pemberian ASI pada bayi dan balita
sangat berpengaruh pada maturitas sistem imunitas atau sistem kekebalan bayi
dan balita. Pemberian ASI yang tidak tepat akan mengganggu kecepatan maturitas
sistem imunitas tersebut, jika hal ini terjadi maka bayi atau balita tersebut
akan semakin beresiko menderita penyakit. Akibat dari sistem kekebalan yang
tidak cepat matang ini lah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya
kejadian ISPA.
-
Status Gizi
Gizi adalah
suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal
melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan
pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,
pertumbuhan, dan fungsi normla dari organ-organ serta menghasilkan energi
(Supriasa, dkk, 2002 dalam Suhandayani, 2007). Status gizi merupakan ekspresi
dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari
natriture dalam bentuk variabel tertentu (Supriasa, dkk, 2002 dalam
Suhandayani, 2007). Dalam arifin (2009) dijelaskan bahwa keadaan gizi merupakan
hal yang penting bagi pencegahan ISPA. Dimana kejadian ISPA dapat dicegah bila
anak mempunyai gizi yang baik, mendapatkan ASI sampai usia dua tahun karena ASI
adalah makanan yang paling baik untuk bayi, bayi mendapatkan makanan padat
sesuai dengan umurnya serta bayi dan anak mendapatkan makanan yang mengandung
gizi cukup yaitu mengandung ckupu protein (zat putih telur), karbohidrat,
lemak, vitamin, dan mineral.
-
Umur
Umur
mempunyai pengaruh besar terhadap ISPA dimana pada anak bayi memberikan
gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa.
Gambaran klinik yang jelek dan tampak lebih berat tersebut terutama disebabkan
oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh kekebalan alamiah
(Alasagaf dan Mukti, 2008 dalam Saftari, 2009). Umur diduga terkait dengan
sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan kelompok yang kekebalan
tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit
infeksi, semakin muda usia anak makin sering mendapat serangan ISPA (Suwendra, 1988
dalam Suhandayani, 2007).
1.3 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, karena luasnya
faktor yang mempengaruhi masalah, keterbatasan waktu yang dimiliki oleh
peneliti, terbatasnya sarana dan dana serta kemampuan yang dimiliki oleh
peneliti, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti, yaitu hanya
meneliti pengaruh antara kelengkapan imunisasi dasar terhadap kejadian ISPA
yang terjadi di daerah cakupan kerja Puskesmas Suramadu pada tahun 2013.
1.4 Rumusan
masalah :
1.4.1 Apakah ada hubungan antara
kelengkapan imunisasi dasar dengan kejadian ISPA?
1.4.2 Apakah ada perbedaan antara balita
yang di imunisasi dasar lengkap dengan balita yang tidak mendapatkan imunisasi
dasar lengkap?
1.4.3 Apakah ada pengaruh antara
kelengkapan imunisasi terhadap kejadian ISPA?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan
Umum:
Diketahuinya
pengaruh antara kelengkapan imunisasi dasar dengan kejadian ISPA pada balita di
puskesmas suramadu tahun 2013
1.5.2 Tujuan khusus:
1.5.2.1 mengidentifikasi kelengkapan
imunisasi dasar
1.5.2.2 mengidentifikasi kejadian ISPA
pada balita
1.5.2.3 menganalisis pengaruh antara
kelengkapan imunisasi dasar dengan kejadian ISPA
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep Teori
2.1.1
Imunisasi Dasar
a.
pengertian imunisasi dasar, waktu
pemberian imunisasi
b.
manfaat imunisasi dasar
c.
tujuan imunisasi
d.
macam-macam imunisasi dasar
e.
efek samping imunisasi
f.
cara dan waktu pemberian imunisasi
g.
indikasi dan kontraindikasi pemakaian
imunisasi
2.1.2
Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA)
a.
pengertian ISPA
b.
faktor-faktor penyebab ISPA
c.
gejala ISPA
d.
dampak ISPA
e.
penatalaksanaan ISPA
f.
pencegahan ISPA
2.1.3
Pengaruh Imunisasi Dasar pada kejadian
ISPA
2.2 Kerangka
Konsep
Kejadian
ISPA disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal antara lain faktor dari lingkungan, pendidikan, kondisi
ekonomi, dan kebiasaan hidup. Sedangkan faktor internal adalah kelengkapan
imunisasi dasar, ketepatan pemberian ASI, status gizi, dan umur.
Dalam
penelitian tersebut peneliti membatasi masalah dengan penyebab kelengkapan
imunisasi dasar sehingga dalam penelitian hanya akan dijelaskan pengaruh
mengenai kelengkapan imunisasi dasar dengan kejadian ISPA.
2.3 Hipotesis
2.3.1 Terdapat
hubungan antara kelengkapan imunisasi dasar dengan kejadian ISPA
2.3.2 Terdapat
perbedaan antara balita yang diimunisasi dasar lengkap dengan balita yang tidak
mendapatkan imunisasi dasar lengkap
2.3.3 Terdapat
pengaruh antara kelengkapan imunisasi terhadap kejadian ISPA
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan
Penelitian
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakkan rancangan penelitian analitik
observasional.
3.2
Kerangka kerja
3.3 Identifikasi Variabel
Variabel dependent :
Kelengkapan imunisasi dasar
Variabrel Independent : :
Kejadian ISPA pada balita
3.4 Definisi Operasional
VARIABEL
|
DEFINISI
OPEASIONAL
|
KRITERIA
|
SKALA
|
Kelengkapan
Imunisasi Dasar
Kejadian
ISPA pada balita
|
Adalah
kelengkapan imunisasi dasar pada balita yang didapatkan dari catatan
imunisasi di puskesmas setempat
-waktu
pemberian
-tempat
mendapatan imunisasi
-kelengkapan
imunisasi dasar yang di dapat
-tenaga
kesehatan yang memberi pelayanan
Adalah
jumlah kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di
puskesmas setempat
|
1=
melakukan imunisasi dasar <50 o:p="">50>
|
2=
melakukan imunisasi dasar secara lengkap
1=
tinggi,bila kejadian ISPA diatas 50% dari jumlah balita diwilayah kerja
puskesmas suramadu
2=
sedang, bila kejadian ISPA 25-30% dari jumlah balita di wilayah kerja
puskesmas suramadu
3=
rendah, bila kejadian ISPA <25 b="" balita="" dari="" di="" jumlah="" kerja="" puskesmas="" suramadu="" wilayah=""> 25>
Nominal
Ordinal
3.5 Sampling Desain
a.Populasi
500
balita dengan ISPA di wilayah kerja puskesmas suramadu pada bulan januari
hingga mei 2013.
b. Sampel
balita ISPA di desa
A,B,C dan D
c. Besar Sampel
Peneliti mencari besar
sampel dengan cluster random sampling
d. Tehnik Sampling
populasi = 500 balita
sampel = 300 balita
-Desa A = x 300 = 75
-Desa B = x 300 = 120
-Desa C = x 300 = 60
-Desa D = x 300 = 45
3.6 Pengumpulan Data
a. pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara kuisioner .
b. pengolahan data dan analisis data
3.7 Etika Penelitian
Peneliti mengunakkan etika penelitian Anonymity saat responden mengisi kuisiner
3.8 Keterbatasan
3.9 Waktu dan
Tempat Penelitian
a. waktu penelitian
: Agustus 2013
b. Tempat Penelitian :
Wilayah Kerja Puskesmas Suramadu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Your CommEnT........